Ihwal Shalat


berikut adalah tulisan-tulisan terkait keutamaan sholat dan peringatan agar tidak meninggalkannya, yang diambil dari berbagai sumber, sebagai bahan renungan bagi kita semua :

AJARKAN SHOLAT PADA ANAK SEJAK KECIL

Potret keluarga jaman sekarang sebagiannya lebih mementingkan pendidikan duniawi pada anak ketimbang memikirkan pendidikan moral, akhlaq dan agama bagi anak-anaknya. Sejak kecil anak-anaknya justru sudah dimasukkan pendidikan pra sekolah, pendidikan non formal dan pendidikan akademis duniawi lainnya.

Seharusnya keluarga juga mementingkan pendidikan moral sebagai landasan utama hidup kedepannya. Tidak hanya memanggil dan mambayar guru privat agar nilai sekolah bagus, tapi tidak ada salahnya juga memanggil mubalegh dan mubalighot untuk mendidik agama. Salah satu contoh nyata pendidikan agama anak sejak dini adalah memulai dan membiasakan sholat pada anak-anak kita.

عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلاَةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِينَ وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِينَ فَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا * رواه أبو داود كتاب الصلاة

Dari Jaddid, berkata dia: Bersabda Nabi SAW: “Perintahlah kalian pada anak kecil dengan sholat ketika telah berumur 7 tahun. Dan ketika telah berumur 10 tahun maka memukullah pada anak karena meninggalkan sholat”

Keterangan:

Nabi memerintahkan kepada umat muslim agar membiasakan anak mereka untuk mengerjakan sholat 5 waktu ketika berumur 7 tahun. Dan jika setelah sampai umur 10 tahun anak tersebut belum mau juga untuk mengerjakan sholat 5 waktu, maka orang tua agar mengingatkan anak dengan cara memberi pukulan yang mendidik, bukan dengan pukulan-pukulan keras yang malah membuat anak trauma.

Dari hadits ini dapat kita lihat bagaimana wajibnya mengerjakan sholat 5 waktu. Bahkan anak umur 10 tahun (yang biasanya belum baligh) sudah diperintahkan untuk dipukul jika meninggalkan sholat. Untuk anak kita yang masih balita tidak ada salahnya selalu diajak sholat saat orang tuanya akan menunaikan kewajiban sholat. Meski anak kita belum bisa membaca doa sholat dan melakukan gerakan sholat dengan benar, namun hal itu cukup membantu menanamakan blueprint pentingnya kewajiaban melaksanakan ibadah kepada Alloh. Sudahkan Anda mengajari dan membiasakan anak Anda sholat sejak dini?

(sumber : http://filsafat.kompasiana.com/2009/12/15/ajarkan-sholat-pada-anak-sejak-kecil/.)
----------------------------------------------------

MELATIH ANAK SHOLAT SEJAK DINI

Rizky, bayi berumur 1,5 tahun itu sudah pandai berlari-larian. Lucunya, setiap melihat ibu dan kakaknya shalat berjama’ah, Rizky selalu ribut minta dipakaikan mukena seperti kakak-kakaknya. Lalu, dengan penuh semangat dia segera mengambil posisi di sebelah ibunya dan mulai bertakbir sambil menirukan semua gerak-gerik ibu dan kakak-kakaknya. Sekalipun posisi sujudnya masih dengan pantat dan lutut sama-sama menungging, tapi Rizky merasa dia sudah melakukan gerakan yang benar. Dan, Rizky mungil tak pernah melewatkan saat-saat shalat bersama keluarganya.

Apa yang terbetik dalam pikiran Anda ketika melihat seorang ibu melatih anak shalat sejak usia mereka masih balita (di bawah 5 tahun)? Sebagian mungkin akan berkomentar: Apa tidak terlalu kecil? Mereka kan belum baligh, jadi kan nggak wajib toh?Sebagian yang lain mungkin tertarik dan ta’jub, kok bisa anak-anak masih balita kok sudah demen shalat, ya? begitu mungkin komentarnya.

Mengukir Mutiara Nan Indah


Apa yang dilakukan anak seperti Rizky, tak lepas dari peran orangtuanya dalam memberikan keteladanan dan menanamkan kebiasaan yang baik sejak usia Rizky masih dini. Bahkan, mungkin ibu Rizky sudah biasa mengajaknya ikut serta shalat sejak Rizky masih dalam buaian.

Sebagian orang mungkin menganggap aneh ada seorang ibu shalat sambil menggendong bayi. Sesekali bayinya diangkat saat menangis, dan sesekali bayinya diletakkan di sajadah di samping sang ibu. Kebanyakan para ibu justru suka menitipkan bayinya pada orang lain saat hendak shalat. Dan tak jarang ada ibu-ibu yang nggak sempat shalat karena bayinya rewel terus dan nggak ada orang yang bisa dititipi bayinya. Nah, lho!

Sesungguhnya setiap orangtua akan termotivasi melatih anaknya shalat dengan baik, bila mereka mengetahui filosofi pendidikan anak. Rasulullah saw menegaskan bahwa pendidikan merupakan pemberian terbaik dari orangtuanya. At Tirmidzy meriwayatkan sebuah hadits Rasululllah saw yang artinya: Tidak ada pemberian orangtua kepada anak yang lebih utama daripada pendidikan yang baik.

Imam Al-Ghazali berkata, Anak itu amanah Allah bagi kedua orangtuanya, hatinya bersih bagaikan mutiara yang indah bersahaja, bersih dari setiap lukisan dan gambar. Ia menerima setiap yang dilukiskan, cenderung ke arah apa saja yang diarahkan kepadanya. Jika ia dibiasakan belajar dengan baik ia akan tumbuh menjadi baik, beruntung di dunia dan di akhirat. Kedua orangtuanya, semua gurunya, pengajar dan pendidiknya sama-sama mendapat pahala. Dan jika ia dibiasakan melakukan keburukan dan diabaikan sebagaimana mengabaikan hewan, ia akan celaka dan rusak, dan dosanya menimpa pengasuh dan orang tuanya.

Pendidikan Sejak Kecil, Penting!

Anak usia dini (0-6 tahun) adalah seseorang yang belum baligh dan belum mempunyai beban taklif, yaitu belum dibebankan untuk melaksanakan hukum-hukum syara’ baik yang terkait dengan ibadah, muamalah, akhlaq, dan lain-lain. Namun tidak berarti pendidikan baru diberikan kepada anak pada saat usia baligh. Rasulullah saw telah menuntun kita untuk memulai pendidikan sejak dini, sebagaimana sabda Rasulullah saw: uthlubul’ilma minalmahdi ilallakhdi, artinya: Tuntulah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat.

Banyak ucapan atau pendapat para ulama yang mengisyaratkan pentingnya menuntut ilmu pada waktu kecil. Al-Hasan bin Ali bertutur: Menuntut ilmu pada waktu kecil ibarat mengukir di atas batu. Beliau juga berkata kepada putra dan kemenakannya, Pelajarilah ilmu, sesungguhnya jika kalian menjadi pemuda suatu kaum, besok kalian menjadi pemuka mereka. ‘Ursah bin Az-Zubair berkata kepada putranya, Kemarilah dan belajarlah dariku. Kelak kamu akan menjadi pemimpin suatu kaum

Ibadah shalat merupakan rukun Islam yang kedua yang harus dilaksanakan oleh setiap umat manusia. Tetapi tidak sedikit umat Islam yang lalai melaksanakan kewajiban ini. Karena itu dibutuhkan suatu metode terutama bagi anak-anak agar mereka rajin dan giat dalam melaksanakan ibadah shalat. Melatih anak melaksanakan shalat sejak usia dini bukan karena anak telah wajib melakukannya tapi dalam rangka mempersiapkan dan membiasakan untuk menyambut masa pembebanan kewajiban ketika ia telah baligh nantinya.

Melatih anak sejak dini, diharapkan dapat membentuk kebiasaan bagi anak. Dengan demikian, pelaksanaan kewajiban nantinya akan terasa mudah dan ringan, disamping juga sudah memiliki kesiapan yang matang dalam mengarungi kehidupan dengan penuh keyakinan. Melatih anak melakukan shalat karena Allah akan memberikan pengaruh mengagumkan pada jiwa anak, karena akan menjadikan anak selalu berhubungan dengan Allah SWT.

Tahapan Melatih Anak Shalat

Pembinaan ibadah shalat bagi anak-anak dilakukan dengan beberapa tahap. Pada tahap pertama yaitu tahap anak berusia kurang dari enam tahun atau disebut juga tahap usia dini, orang tua hendaknya mulai memberikan pengertian kewajiban melaksanakan shalat. Di usia batita (di bawah 3 tahun) seperti Rizky, barangkali orangtua hanya berusaha untuk mengajak serta saja tanpa perlu memaksa.

Anak mulai bisa diperintahkan melaksanakan shalat ketika dia sudah bisa membedakan antara tangan kanan dan kirinya. Hal ini berlandaskan pada hadist yang diriwayatkan Ath-Thabrani dari Abdullah bin Hubaib r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda Apabila seorang anak telah tahu (membedakan) tangan kanan dan kirinya, maka perintahkanlah dia melak-sanakan shalat. Anak yang mendapatkan stimulasi perkembangan dengan baik, tentunya akan lebih cepat pula membedakan tangan kiri dan tangan kanannya sehingga lebih cepat pula dapat memerintahkan dia untuk melaksanakan shalat.

Setelah anak tahu kewajiban melak-sanakan shalat, maka barulah orangtua sebagai pendidik yang paling utama, mulai mengajarkan kepada anak yang berkaitan dengan shalat. Rasulullah memberikan batasan usia tujuh tahun sebagai awal yang paling baik bagi anak untuk diajarkan masalah yang terkait dengan shalat seperti syarat sahnya shalat, rukun dan yang membatalkan shalat, dan ini disebut juga sebagai tahap kedua yaitu tahap anak berusia prabaligh.

Tips Melatih Anak Shalat

Karena pembelajaran shalat untuk anak usia dini adalah dalam rangka pembiasaan, bukan karena kewajiban, maka orang tua dapat melatih anak dengan cara-cara berikut ini:

1. TELADAN.
Memberikan keteladanan dengan cara mengajak anak melaksanakan shalat berjamaah di rumah. Keteladanan yang baik membawa kesan positif dalam jiwa anak. Orang yang paling banyak diikuti oleh anak dan yang paling kuat menanamkan pengaruhnya ke dalam jiwa anak adalah orang tuanya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw memerintahkan agar orang tua dapat menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka.
Pada tahap awal, keteladanan yang dapat dicontoh anak adalah gerakan-gerakan shalat. Pada tahap berikutnya keteladanan yang bisa diberikan orangtua adalah bacaan shalat. Saat anak ikut shalat bersama orang tua, sebaiknya orang tua melafazkan bacaan shalat dengan suara yang terdengar oleh anak. Sehingga anak tidak hanya mendapatkan stimulasi gerakan shalat tapi juga bacaan shalat. Masa anak-anak adalah masa meniru dan memiliki daya ingat yang luar biasa. Orang tua harus menggunakan kesempatan ini dengan baik, jika tidak ingin menyesal kehilangan masa emas (golden age) pada anak.

2. MELATIH BERULANG-ULANG.
Melatih gerakan dan bacaan shalat pada anak usia dini hendaknya dilakukan dengan cara berulang-ulang. Semakin sering anak usia dini mendapatkan stimulasi tentang gerakan shalat, apalagi diiringi dengan peng-arahan tentang bagaimana gerakan yang benar secara berulang-ulang maka anak usia dini semakin mampu melakukannya. Begitu juga dengan bacaan shalat. Semakin sering didengar oleh anak, maka semakin cepat anak hafal bacaan shalat tersebut. Sekalipun pemberi teladan yang utama adalah ayah dan ibu, diharapkan orang dewasa lainnya yang tinggal bersama anak juga bisa menjadi teladan bagi anak. Sehingga disaat Ayah tidak di rumah dan Ibu berhalangan memberikan teladan, maka pemberian latihan tetap bisa berlangsung oleh orang dewasa lainnya yang tinggal bersama anak.

3. SUASANA NYAMAN & AMAN.
Menghadirkan suasana belajar shalat yang mem-berikan rasa aman dan menyenangkan bagi anak dalam menerima seluruh proses pendidikan shalat yang diselenggarakan. Saat anak usia dini mengikuti gerakan-gerakan orang tua dalam shalat, pada tahap awal terkadang bisa mengganggu kekhusukan shalat orang tua. Orang tua harus dapat memahami bahwa tindakan anak meniru gerakan orang tua adalah sebagai proses belajar, sehingga sekalipun anak dapat mengganggu kekhusukan shalat orang tua, anak tidak boleh dimarahi atau dilarang dekat dengan orang tua saat shalat. Pengarahan tentang bagaimana tata cara shalat yang benar kita ajarkan kepada setelah proses shalat berlangsung. Dalam tahap lanjut, anak tidak hanya bisa meniru gerakan shalat, tapi juga memiliki kebanggaan untuk mengenakan simbol-simbol Islami baik dalam ucapan maupun perilaku dalam shalat dan sebagainya.

4. TIDAK MEMAKSA.
Tidak melakukan pemaksaan dalam melatih anak usia dini melakukan shalat. Perkembangan kemampuan anak melakukan gerakan shalat adalah hasil dari pematangan proses belajar yang diberikan. Pengalaman dan pelatihan akan mempunyai pengaruh pada anak bila dasar-dasar keterampilan atau kemampuan yang diberikan telah mencapai kematangan. Kemudian, dengan kemampuan ini, anak dapat mencapai tahapan kemampuan baru yaitu dapat melakukan gerakan shalat sekalipun belum berurutan. Pemaksaan latihan kepada anak sebelum mencapai kematangan akan mengakibatkan kegagalan atau setidaknya ketidakoptimalan hasil. Anak seolah-olah mengalami kemajuan, padahal itu merupakan kemajuan yang semu. Di samping itu, latihan yang gagal dapat menimbulkan kekecewaan pada anak atau rasa tidak sukapada kegiatan yang dilatihkan. Dengan demikian, saat anak usia dini tidak bersedia diajak shalat bersama, maka orang tua tidak harus memaksakan anak.

5. TIDAK MEMBANDING-BANDINGKAN.
Secara fisik, semakin bertambah usia anak maka semakin mampu melakukan gerakan-gerakan motorik dari yang seder-hana sampai yang komplek. Namun perlu diperhatikan adanya keunikan setiap anak. Bisa jadi tahapan perkembangan gerakan motorik antara anak pertama lebih cepat dibandingkan anak kedua. Oleh karenanya, penting bagi orangtua untuk memperhatikan perkembangan perseorangan, dan tidak membanding-bandingkan dengan sang kakak atau anak lain yang seusia dengan anak. Bisa jadi sang kakak lebih cepat bisa mencontoh gerakan shalat dibandingkan dengan sang adik. Dalam kondisi ini orang tua tidak boleh langsung menilai bahwa sang adik tidak pintar seperti sang kakak. Setiap anak harus mendapatkan perhatian dari orang tua hingga muncul penghargaan atas diri anak dan antar sesama anak.

Demikian tahapan melatih anak shalat di usia dini. Pada tahap usia berikutnya (prabaligh) yaitu tahap usia anak memasuki usia tujuh tahun, pembahasan melatih dan mengajarkan anak shalat akan dipaparkan dalam FR edisi depan. (Yuliana/ FR)

(Sumber : http://serpongmosleemah.dagdigdug.com/category/haus-ilmu-nih/mencetak-generasi-rabbani/)
----------------------------------------

40 HADITS SHALAT

Hadis Pertama: Urgensitas Shalat

أول ما افترض الله على أمتي الصلوات الخمس وأول ما يرفع من أعمالهم الصلوات الخمس وأول ما يسألون عنه الصلوات الخمس

Rasulullah saw bersabda:
“Hal pertama yang diwajibkan oleh Allah swt atas umatku adalah shalat lima waktu, hal pertama yang diangkat dari amalan-amalan mereka adalah shalat lima waktu, dan hal pertama yang dipertanyakan kepada mereka adalah shalat lima waktu.” [Kanzul ‘Ummal, jilid 7, hadis 18859]

Hadis Kedua: Shalat dan Tiang Agama

عن أبي جعفر عليه السلام قال: بني الاسلام على خمسة أشياء: على الصلاة، والزكاة، والحج، والصوم، والولاية

Dari Abi Ja’far (Imam Baqir) as berkata:
“Islam dibangun di atas lima hal: Shalat, zakat, haji, puasa dan wilayah (kepemimpinan atau imamah).” [Bihar, jilid 79, hal 234]

Hadis Ketiga: Perumpamaan Shalat

عن أبي جعفر عليه السلام قال: الصلاة عمود الدين، مثلها كمثل عمود الفسطاط إذا ثبت العمود ثبتت الاوتاد والاطناب، وإذا مال العمود وانكسر لم يثبت وتد ولا طنب

Dari Abi Ja’far as berkata:
“Shalat adalah tiang agama, perumpamaannya seperti tiang kemah, bila tiangnya kokoh maka paku dan talinya akan kokoh, dan bila tiangnya miring dan patah maka paku dan talinya pun tidak akan tegak.” [Bihar, jilid 82, hal 218]

Hadis Keempat: Shalat Penyebab Kebahagiaan

قال رسول الله صلي الله عليه و اله: خمس صلوات من حافظ عليهن كانت له نورا وبرهانا ونجاة يوم القيامة

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang menjaga shalat lima waktu maka ia akan memperoleh cahaya, burhan dan keselamatan pada hari kiamat kelak.” [Kanzul ‘Ummal, jilid 7, hadis 18862]

Hadis Kelima: Shalat dan Cahaya Hati

صلاة الرجل نور في قلبه فمن شاء منكم فلينور قلبه

Rasulullah saw bersabda:
“Shalat seseorang adalah cahaya di hatinya dan barangsiapa di antara kalian yang berkeinginan maka hendaknya ia menyinari hatinya dengan cahaya.” [Kanzul ‘Ummal, jilid 7, hadis 18973]

Hadis Keenam: Shalat Parameter Penerimaan Amal Perbuatan

قال الصادق (عليه السلام): أوّل ما يحاسب به العبد الصلاة، فإن قبلت قبل سائر علمه، وإذا ردّت ردّ عليه سائر عمله

Imam Ja’far Shadiq as berkata:
“Hal pertama yang akan dihisab (diperhitungkan) dari seorang hamba adalah shalat, jika shalatnya diterima maka seluruh amalnya akan diterima dan jika shalatnya ditolak maka seluruh amalnya akan ditolak.” [Wasa’il Al-Syi’ah, jilid 3, hal 22]

Hadis Ketujuh: Shalat dan Metode Para Nabi

قال صلى الله عليه واله: الصلاة من شرايع الدين، وفيها مرضاة الرب عزوجل، فهي منهاج الانبياء

Rasulullah saw bersabda:
“Shalat adalah termasuk dalam syareat agama, dan di dalamnya terdapat keridhaan Tuhan swt, dan shalat adalah metode para nabi.” [Bihar, jilid 82, hal 231]

Hadis Kedelapan: Shalat Bendera Islam

قال النبي صلى الله عليه واله: علم الإسلام الصلاة فمن فرغ لها قلبه وحافظ عليها بحدها ووقتها وسننها فهو مؤمن

“Bendera Islam adalah shalat, maka barangsiapa memberikan hatinya untuknya dan menjaganya dengan batasan dan waktunya serta sunah-sunnahnya maka ia adalah seorang mukmin (hakiki).” [Kanzul ‘Ummal, jilid 7, hadis 18870]

Hadis Kesembilan: Shalat dan Effesiensinya

قال الصادق ( عليه السلام ) ـ في حديث ـ : إنّ ملك الموت يدفع الشيطان عن المحافظ على الصلاة ، ويلقّنه شهادة أن لا إله إلا الله ، وأنّ محمّداً رسول الله ، في تلك الحالة العظيمة

Imam Ja’far Shadiq as berkata:
“Sesunguhnya malaikat kematian (pencabut nyawa) menghalau syetan dari orang yang menjaga shalat dan mentalqinkan (mendektekan) kepadanya kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Nabi Muhammad saw adalah Rasulullah (utusan Allah) dalam kondisi menakutkan tersebut.” [Wasa’il Al-Syi’ah, jilid 3, hal 19]

Hadis Kesepuluh: Shalat dan Anak-anak

قال الباقر عليه السلام: إنّا نأمر صبياننا بالصلاة إذا كانوا بني خمس سنين ، فمروا صبيانكم بالصلاة إذا كانوا بني سبع سنين

Imam Baqir as berkata:
“Sesungguhnya kami memerintahkan anak-anak kami untuk shalat bila mereka mencapai usia lima tahun, maka perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat bila mereka mencapai usia tujuh tahun.” [Wasa’il Al-Syi’ah, jilid 3, hal 12]

Pasal Kedua
Urgensitas dan Keutamaan Shalat

Hadis Kesebelas: Nilai Shalat

قال الصادق عليه السلام: صلاة فريضة خير من عشرين حجة وحجة خير من بيت مملو ذهبا يتصدق منه حتى يفني أو حتى لا يبقي منه شئ

Imam Ja’far Shadiq as berkata:
“Shalat wajib lebih baik dari dua puluh haji dan haji satu kali lebih baik dari sebuah rumah berisikan penuh dengan emas yang disedekahkan sehingga habis atau tidak tersisa sedikitpun juga.” [Bihar, jilid 82, hal 227]
Hadis Kedua Belas: Keutamaan Shalat

قال أمير المؤمنين عليهم السلام: اوصيكم بالصلاة وحفظها، فانها خير العمل وهي عمود دينكم

Amirul Mukminin Ali as berkata:
“Aku wasiatkan kepada kalian akan shalat dan menjaganya, karena sesungguhnya shalat adalah sebaik-baik amal dan ia adalah tiang agama kalian.” [Bihar, jilid 82, hal 209]

Hadis Ketiga Belas: Urgensitas Shalat

قال النبي صلى الله عليه واله: ما من صلاة يحضر وقتها إلا نادى ملك بين يدي الناس [أيها الناس] قوموا إلى نيرانكم التي أو قدتموها على ظهوركم فأطفئوها بصلاتكم

Nabi saw bersabda:
“Tidak ada satu shalat pun yang tiba waktunya kecuali satu malaikat menyeru di antara manusia (Wahai manusia) bangkitlah menuju api-api yang kalian nyalakan di hadapan kalian sendiri maka padamkanlah api tersebut dengan shalat kalian.” [Bihar, jilid 82, hal 209]

Hadis Keempat Belas: Berkah Shalat

عن علي عليه السلام قال: إن الانسان إذا كان في الصلاة فان جسده وثيابه وكل شئ حوله يسبح

Imam Ali as berkata:
“Sesungguhnya manusia apabila berada dalam kondisi shalat maka tubuh, pakaian dan segala sesuatu di sekitarnya akan bertasbih.” [Bihar, jilid 82, hal 213]

Hadis Kelima Belas: Kedudukan Shalat

قال النبي صلى الله عليه واله: موضع الصلاة من الدين كموضع الرأس من الجسد

Rasulullah saw bersabda:
“Kedudukan shalat dari agama adalah seperti kedudukan kepala dari badan.” [Kanzul ‘Ummal, jilid 7, hadis 18972]

Hadis Keenam Belas: Shalat dan Kesucian Jiwa

قال النبي صلى الله عليه واله: مثل الصلوات الخمس كمثل نهر جار عذب على باب أحدكم يغتسل فيه كل يوم خمس مرات فما يبقى ذلك من الدنس

Rasulullah saw bersabda:
“Perumpamaan shalat lima waktu adalah seperti sebuah sungai tawar yang mengalir di sisi pintu rumah salah seorang di antara kalian yang setiap harinya ia mandi lima kali, maka tidak tertinggal sedikitpun kotoran (di badannya, artinya barangsiapa yang sehari semalam mendirikan shalat lima waktu juga maka ia akan terbebas dari kotoran-kotoran jiwa dan ruh).” [Kanzul ‘Ummal, jilid 7, hadis 18931]

Hadis Ketujuh Belas: Shalat dan Ikatan Janji dengan Allah swt

روي عن النبي صلى الله عليه واله قال: قال الله تعالى: افترضت على أمتك خمس صلوات وعهدت عندي عهدا أنه من حافظ عليهن لوقتهن أدخلته الجنة ومن لم يحافظ عليهن فلا عهد له عندي

Dari Rasulullah saw:
“Allah swt berfirman: Aku telah mewajibkan shalat lima waktu kepada umatmu dan Aku ikatkan sebuah perjanjian di sisiKu bahwa barangsiapa yang menjaganya pada waktu-waktunya maka Aku akan memasukkannya ke dalam surga, dan barangsiapa yang tidak menjaganya maka tidak ada ikatan perjanjian untuknya di sisiKu.” [Kanzul ‘Ummal, jilid 7, hadis 18872]

Hadis Kedelapan Belas: Shalat dan Mengingat Allah swt

“روي عن الباقر عليه السلام أنه قال: ذكر الله لاهل الصلاة أكبر من ذكرهم إياه، ألا ترى أنه يقول: “اذكروني أذكركم

Dari Imam Baqir as berkata:
“Ingatan Allah swt untuk orang-orang yang mendirikan shalat lebih besar dari ingatan mereka kepada Allah, apakah engkau tidak melihat bahwa Allah swt berfirman:

فاذكروني أذكركم واشكروا لي ولا تكفرون

“Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS. Al-Baqarah (2): 152) [Bihar, jilid 82, hal 199]

Hadis Kesembilan Belas: Shalat dan Rahmat Allah swt

قال أمير المؤمنين عليه السلام: إذا قام الرجل إلى الصلاة أقبل إليه إبليس ينظر إليه حسدا لما يرى من رحمة الله التي تغشاه

Imam Ali as berkata:
“Jika seseorang berdiri melaksanakan shalat maka Iblis menghadap kepadanya sambil memandangnya dengan hasud karena melihat rahmat yang menyelimutinya.” [Bihar, jilid 82, hal 207]

Hadis Kedua Puluh: Shalat dan Meninggalkan Dosa

وروي أن فتى من الانصار كان يصلي الصلاة مع رسول الله صلى الله عليه واله ويرتكب الفواحش، فوصف ذلك لرسول الله صلى الله عليه واله فقال: إن صلاته تنهاه يوما ما، فلم يلبث أن تاب

Diriwayatkan bahwa seorang pemuda dari kaum Anshar malaksanakan shalat bersama Rasulullah saw dan tetap melakukan hal-hal buruk, maka hal tersebut dilaporkan kepada Rasulullah saw, maka Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya suatu hari shalatnya akan mencegahnya, maka tidak berselang lama ia bertaubat. [Bihar, jilid 82, hal 198]

Pasal Ketiga
Urgensitas Waktu Shalat

Hadis Kedua Puluh Satu: Bagaimana dan Kapan Kita Mendirikan Shalat?

قال أبو عبد الله عليه السلام إذا صليت صلاة فريضة فصلها لوقتها صلاة مودع يخاف أن لا يعود إليها

Imam Ja’far Shadiq as berkata:
“Apabila engkau melaksanakan shalat wajib maka shalatlah pada (awal) waktunya seperti shalat orang yang ingin berpisah, takut tidak akan kembali lagi.” [Mahajjatul Baidha’, jilid 1, hal 350]

Hadis Kedua Puluh Dua: Urgensitas Waktu Shalat

قال النبي صلى الله عليه واله: قال الله عز و جل: إن لعبدي علي عهدا إن أقام الصلاة لوقتها أن لا أعذبه وأن أدخله الجنة بغير حساب

Nabi saw bersabda:
Allah swt berfirman: Sesungguhnya hamba-Ku memiliki sebuah perjanjian atas-Ku jika ia mendirikan shalat pada waktunya maka Aku tidak akan mengazabnya dan Aku akan memasukkannya ke surga dengan tanpa hisab.” [Kanzul ‘Ummal, jilid 7, hadis 19036]

Hadis Kedua Puluh Tiga: Nabi saw dan Shalat Awal Waktu

عن عائشة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه و اله يحدثنا و نحدثه فاذا حضرت الصلوة فكأنه لم يعرفنا و لم نعرفه اشتغالا بعظمة الله

Dari Aisyah berkata:
Rasulullah saw sedang berbincang-bincang dengan kita maka ketika tiba waktu shalat seakan-akan beliau saw tidak mengenal kita dan kita tidak mengenalnya karena sibuk dengan kebesaran Allah.” [Mahajjatul Baidha’, jilid 1, hal 350]

Hadis Kedua Puluh Empat: Shalat Pada Waktunya

عن أبي عبد الله عليه السلام قال: إن العبد إذا صلى الصلاة لوقتها وحافظ عليها ارتفعت بيضاء نقية تقول حفظتني حفظك الله، وإذا لم يصلها لوقتها ولم يحافظ عليها رجعت سوداء مظلمة تقول: ضيعتني ضيعك الله

Imam Ja’far Shadiq as berkata:
“Sesungguhnya seorang hamba jika shalat pada waktunya dan menjaganya maka (dengan bentuk) seberkas cahaya putih bersih naik ke atas sambil berkata: Engkau telah menjagaku maka semoga Allah swt menjagamu, dan bila tidak melaksanakan shalat pada waktunya dan tidak memperhatikannya maka akan kembali kepadanya (dengan bentuk) kegelapan pekat sambil berkata: Engkau telah menyia-nyiakanku maka semoga Allah swt menyia-nyiakanmu.” [Maajjatul Baidha’, jilid 1, hal 340]

Hadis Kedua Puluh Lima: Keutamaan Shalat Pada Waktunya

قال النبي صلى الله عليه واله: أحب الأعمال إلى الله الصلاة لوقتها ثم بر الوالدين ثم الجهاد في سبيل الله

Rasulullah saw bersabda:
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah swt adalah shalat pada waktunya, kemudian berbakti kepada kedua orang tua, kemudian jihad di jalan Allah swt.” [Kanzul ‘Ummal, jilid 7, hadis 18897]

Pasal Keempat
Lalai Dalam Shalat dan Meninggalkannya

Hadis Kedua Puluh Enam: Meremehkan Shalat

قال النبي صلى الله عليه واله: ليس مني من استخف بصلاته، لا يرد على الحوض لا والله

Nabi saw bersabda:
“Bukan dariku orang yang meremehkan shalatnya, ia tidak akan masuk telaga Kautsar kepadaku, tidak demi Allah.” [Bihar, jilid 82, hal 224]

Hadis Kedua Puluh Tujuh: Merendahkan Shalat

قال الصادق عليه السلام: شفاعتنا لا تنال مستخفا بصلاته

Imam Ja’far Shadiq as berkata:
“Syafa’at kita tidak akan mengena orang yang meremehkan shalatnya.” [Bihar, jilid 82, hal 227]

Hadis Kedua Puluh Delapan: Menyia-nyiakan Shalat

قال النبي صلى الله عليه واله: لا تضيعوا صلاتكم فان من ضيع صلاته حشره الله مع قارون وفرعون وهامان

Nabi saw bersabda:
“Janganlah kalian menyia-nyiakan shalat kalian, karena sesungguhnya barangsiapa yang menyia-nyiakan shalatnya maka Allah swt akan mengumpulkannya bersama Qarun dan Fir’aun serta Haman (Menteri dan Pembantu).” [Bihar, jilid 82, hal 202]

Hadis Kedua Puluh Sembilan: Shalat Tidak Sempurna dan Nabi saw

عن أبي جعفر (عليه السلام) قال: بينا رسول الله (صلّى الله عليه وآله) جالس في المسجد إذ دخل رجل فقام يصلّي فلم يتمّ ركوعه ولا سجوده، فقال رسول الله (صلّى الله عليه واله): نقر كنقر الغراب لئن مات هذا وهكذا صلاته ليموتنّ على غير ديني

Imam Baqir as berkata:
“Ketika Rasulullah saw sedang duduk di masjid, masuklah seorang laki-laki, lalu ia berdiri dan shalat, tetapi ia tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, maka Rasulullah saw bersabda: Ia telah mematuk seperti patukan burung gagak, bila orang ini meninggal dunia sementara shalatnya seperti ini maka ia akan meninggal bukan di atas agamaku.” [Mahajjatul Baidha’, jilid 1, hal 340]

Hadis Ketiga Puluh: Lalai Dalam Shalat

قال رسول الله صلى الله عليه واله: الصلاة عماد الدين، فمن ترك صلاته متعمدا فقد هدم دينه، ومن ترك أوقاتها يدخل الويل، والويل واد في جهنم كما قال الله تعالى: “ويل للمصلين الذين عن صلاتهم ساهون”

Rasulullah saw bersabda:
“Shalat adalah tiang agama, maka barangsiapa yang meninggalkan shalatnya secara sengaja maka ia telah menghancurkan agamanya, dan barangsiapa meninggalkan waktu-waktunya maka ia akan memasuki wail, dan wail adalah sebuah lembah di neraka Jahannam sebagaimana Allah swt berfirman:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

“Maka wail bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya” {QS. Al-Maa’uun (107): 4 dan 5} [Bihar, jilid 82, hal 202]

Hadis Ketiga Puluh Satu: Hasil Meninggalkan Shalat

قال رسول الله صلی الله عليه و اله: لا تتركن الصلاة متعمدا فإنه من ترك الصلاة متعمدا فقد برئت منه ذمة الله ورسوله

Rasulullah saw bersabda:
“Janganlah meninggalkan shalat dengan sengaja karena sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja maka ia akan terlepas dari tanggungan (jaminan) Allah swt dan Rasul-Nya saw.” [Kanzul ‘Ummal, jilid 7, hadis 19096]

Hadis Ketiga Puluh Dua: Meninggalkan Shalat

قال صلى الله عليه واله: من ترك صلاة لا يرجو ثوابها، ولا يخاف عقابها، فلا ابالي أيموت يهوديا أو نصرانيا أو مجوسيا

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa meninggalkan sebuah shalat karena tidak mengharap pahalanya dan tidak takut akan balasannya maka akupun tidak memperdulikan apakah ia akan meniggal dunia dalam keadaan Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” [Bihar, jilid 82, hal 202]

Hadis Ketiga Puluh Tiga: Meninggalkan Shalat dan Kekafiran

قال صلى الله عليه واله: من ترك صلاته حتى تفوته من غير عذر، فقد حبط عمله، ثم قال: بين العبد وبين الكفر ترك الصلاة

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang meninggalakan shalatnya sehingga melewatkan waktunya tanpa alasan maka amalnya terputus, kemudian beliau saw bersabda: Antara seorang hamba dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” [Bihar, jilid 82, hal 202]

Hadis Ketiga Puluh Empat: Balasan Meninggalkan Shalat

قال رسول الله صلی الله علیه و اله: من ترك الصلاة متعمدا كتب اسمه على باب النار ممن يدخلها

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat secara sengaja maka namanya akan ditulis di atas pintu neraka di antara orang yang akan memasukinya.” [Kanzul ‘Ummal, jilid 7, hadis 19090]

Pasal Kelima
Adab dan Syarat-syarat Diterimanya Shalat

Hadis Ketiga Puluh Lima: Shalat dan Syarat-syarat Penerimaannya

عن أبي عبد الله عليه السلام قال: قال الله تبارك وتعالى: إنما أقبل الصلاة لمن تواضع لعظمتي، ويكف نفسه عن الشهوات من أجلي، ويقطع نهاره بذكري، ولا يتعاظم على خلقي، ويطعم الجايع ويكسو العاري، ويرحم المصاب، ويؤوي الغريب

Imam Ja’far Shadiq as berkata:
“Allah swt berfirman: Sesungguhnya Aku menerima shalat orang yang merendah diri karena kebesaran-Ku, menahan dirinya dari hawa nafsu kerena-Ku, mengakhiri siangnya dengan mengingat-Ku, tidak membesarkan diri atas makhluk-Ku, memberi makan orang lapar dan memberi pakaian orang yang tidak berpakaian, berbelas kasihan kepada orang yang tertimpa musibah dan memberikan perlindungan kepada orang yang asing.” [Bihar, jilid 66, hal 391]

Hadis Ketiga Puluh Enam: Neraca Penerimaan Shalat

عن أبي عبد الله عليه السلام قال: من أحب أن يعلم أقبلت صلاته أم لم تقبل، فلينظر هل منعته صلاته عن الفحشاء والمنكر؟ فبقدر ما منعته قبلت منه

Dari Abi Abdillah (Imam Ja’far Shadiq) as berkata:
“Barangsiapa ingin mengetahui apakah shalatnya diterima atau tidak maka hendaknya ia melihat apakah shalatnya mencegahnya dari kekejian dan kemungkaran? Maka seukuran yang dapat mencegahnya, shalatnya diterima. [Bihar, jilid 82, hal 198]

Hadis Ketiga Puluh Tujuh: Shalat Dan Wilayah Kepada Ahlul Bait

قال رجل لزين العابدين عليه السلام: ما سبب قبولها؟ قال: ولايتنا والبراءة من أعدائنا

Seseorang berkata kepada Imam Ali Zainal Abidin: Apakah sebab diterimanya shalat? Beliau as menjawab: Wilayah kami dan berlepas diri dari musuh-musuh kami. [Bihar, jilid 84, hal 245]

Hadis Ketiga Puluh Delapan: Shalat Wajib Dan Sunnah

عن أبي جعفر (عليه السلام) قال: إنّ العبد ليرفع له من صلاته نصفها أو ثلثها أو ربعها أو خمسها، فما يرفع له إلاّ ما أقبل عليه منها بقلبه، وإنّما أمرنا بالنافلة ليتمّ لهم بها ما نقصوا من الفريضة

Imam Baqir berkata:
Sesungguhnya shalat seorang hamba akan diangkat (diterima) setengah, sepertiga, seperempat dan seperlimanya maka tidak diangkat shalatnya kecuali apa yang dihadapkan dengan hatinya. Dan diperintahkan untuk mengerjakan shalat-shalat sunnah untuk menyempurnakan apa-apa yang kurang dari shalat wajib. [Al-Haqa’iq, Marhum Faidh Kasyani, hal 219]

Hadis Ketiga Puluh Sembilan: Shalat Dengan Azhan Dan Iqamah

قال أبو عبدالله ( عليه السلام ) : من صلى بإذان وإقامة صلى خلفه صفان من الملائكة، ومن صلى بإقامة بغير أذان صلى خلفه صف واحد من الملائكة، قلت له: وكم مقدار كل صف؟ فقال: أقله ما بين المشرق الى المغرب، وأكثره ما بين السماء والأرض

Imam Ja’far Ash-Shadiq as berkata:
Barangsiapa mendirikan shalat dengan azhan dan iqamah maka dua baris malaikat akan shalat di belakangnya, dan barangsiapa shalat dengan iqamah saja tanpa azhan maka satu barisan malaikat akan shalat di belakangnya.
Perawi bertanya: Berapakah jumlah setiap barisan?
Imam as menjawab: Paling sedikitnya antara masyriq (arah timur) dan maghrib (arah barat) dan paling banyaknya antara langit dan bumi. [Wasail Asy-Syiah, jilid 4, hal 620]

Hadis Keempat Puluh: Shalat Dan Doa

قال أبو عبد الله عليه السلام: إن الله عزوجل فرض عليكم الصلواة الخمس في أفضل الساعات، فعليكم بالدعاء في أدبار الصلوات

Imam Ja’far Ash-Shadiq as berkata:
Sesungguhnya Allah swt mewajibkan shalat lima waktu atas kalian pada waktu-waktu paling utama, maka hendaknya kalian berdoa setelah selesai shalat-shalat tersebut. [Al-Khishal, jilid 1, hal 278]

(sumber : www.nurmadinah.com)
-------------------------------------------------------
KEUTAMAAN SHOLAT

Sesungguhnya shalat adalah tiang agama, dan shalat merupakan pilar terkuat dalam rukun Islam yang lima setelah syahadat. Dan posisi shalat dalam agama bagaikan posisi kepala pada tubuh seseorang. Seperti halnya seseorang takkan hidup tanpa kepala, maka seseorang tidak dianggap beragama tanpa melaksanakan shalat. Demikianlah keterangan yang terdapat dalam hadits

Shalat adl ibadah yg utama dan berpahala sangat besar. Banyak hadits-hadits yg menerangkan hal itu akan tetapi dalam kesempatan ini kita cukup menyebutkan beberapa di antaranya sebagai berikut

1. Ketika Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam ditanya tentang amal yang paling utama, beliau menjawab:
"Shalat pada waktunya". (Muttafaq 'alaih)

2. Sabda Rasulullahshallallaahu alaihi wasallam :

"Bagaimana pendapat kamu sekalian, seandainya di depan pintu masuk rumah salah seorang di antara kamu ada sebuah sungai, kemudian ia mandi di sungai itu lima kali dalam sehari, apakah masih ada kotoran yang melekat di badannya?" Para sahabat menjawab: "Tidak akan tersisa sedikit pun kotoran di badannya." Bersabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam: "Maka begitu pulalah perumpamaan shalat lima kali sehari semalam, dengan shalat itu Allah akan menghapus semua dosa." (Muttafaq 'alaih)

3. Sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam

"Tidak ada seorang muslim pun yang ketika shalat fardhu telah tiba kemudian dia berwudhu' dengan baik dan memperbagus kekhusyu'annya (dalam shalat) serta ru-ku'nya, terkecuali hal itu merupakan penghapus dosanya yang telah lalu selama dia tidak melakukan dosa besar, dan hal itu berlaku sepanjang tahun itu." (HR. Muslim)

4. Sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam:

"Pokok segala perkara itu adalah Al-Islam dan tonggak Islam itu adalah shalat, dan puncak Islam itu adalah jihad di jalan Allah." (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan lainnya, hadits shahih)

Allah swt berfirman, “Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-badah yang lain).”

(sumber : http://www.abdullahakmal.co.cc/2010/06/keutamaan-shalat.html)
-------------------------------------------------------

KEUTAMAAN SHALAT LIMA WAKTU

Shalat 5 waktu yang kita kerjakan sehari-hari sebenarnya mempunyai banyak keutamaan-keutamaan yang disediakan oleh Allah bagi para hamba-hamba-Nya yang mengerjakannya dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Di bawah ini merupakan sebagian daripada keutamaan-keutamaan shalat 5 waktu :

1. Bahwasanya Allah akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan dengan shalat yang lima (yakni dengan shalat fardhu)

"Dari Abu Hurairah ia berkata aku mendengar Raulullah bersabda,"Bagaimana pendapat kalian, kalau di depan pintu rumah salah seorang kalian terdapat sungai, yang mana dia mandi di dalamnya setiap hari lima kali, masih adakah kotorannya yang tersisa?" Para sahabat berkata,"Tidak ada sedikitpun dari kotorannya yang tersisa." Rasulullah berkata:"Begitulah perumpamaan shalat yang lima itu, dengannya Allah menghapus dosa-dosa." (Bukhari Muslim)

2. Bahwa shalat lima waktu merupakan kaffarat (penghapus) dosa-dosa yang terjadi diantaranya selama dosa-dosa besar tidak dikerjakan.

"Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,"Shalat-shalat yang lima, dan jumat ke jumat menghapuskan (dosa-dosa yang terjadi) diantaranya selama dosa-dosa besar tidak dikerjakan." (Muslim)

3. Sesungguhnya dosa-dosa itu akan membakar dan menghancurkan pelakunya, dan harus dipadamkan dengan shalat-shalat

"Dari Abdullah bin Mas'ud, Rasulullah bersabda,"Kalian terbakar kalian terbakar, lalu bila kalian sudah mengerjakan shalat subuh maka shalat itu mencucinya. Kemudian kalian terbakar dan kalian terbakar, lalu bila kalian sudah sudah mengerjakan shalat dzuhur maka shalat itu mencucinya. Kemudian kalian terbakar dan kalian terbakar, lalu bila kalian sudah sudah mengerjakan shalat ashar maka shalat itu mencucinya. Kemudian kalian terbakar dan kalian terbakar, lalu bila kalian sudah sudah mengerjakan shalat maghrib maka shalat itu mencucinya. Kemudian kalian terbakar dan kalian terbakar, lalu bila kalian sudah sudah mengerjakan shalat isya maka shalat itu mencucinya, kemudian kalian tidur dan tidak ditulis atas kalian sampai kalian bangun." (Thabrani)

4. Bahwasanya seorang muslim bisa mencapai derajat para shiddiqin dan syuhada dengan shalat, zakat dan puasa.

Dari Amru bin Murrah Al-Juhani ia berkata seorang lelaki datang kepada Nabi, ia berkata,"Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu kalau aku sudah bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya engkau adalah utusan Allah, sudah mengerjakan shalat lima waktu, sudah menunaikan zakat, dan berpuasa di bulan Ramadhan dan sudah melaksanakan qiyamnya (tarawih), maka termasuk dari golongan manakah aku?" Beliau bersabda:"Dari golongan para shiddiqin dan syuhada."

5. Keutamaan shalat di atas semua amalan-amalan lainnya

Dari usman, ia berkata Rasulullah bersabda:"Tidaklah seorang muslim ketika datang waktu shalat wajib lalu ia membalikkan wudhunya, kekhusyuannya dan rukunya, kecuali shalat itu akan menghapuskan dosa-dosa sebelumnya, selama perbuatan dosa besar tidak dikerjakan, dan itu untuk selamanya." (Ahmad)

6. Sesungguhnya Allah akan menganugerahi orang yang melakukan shalat dengan memasukkannya ke dalam surga lebih dahulu daripada saudaranya yang gugur sebagai syahid, karena dia lebih banyak mengerjakan shalat.

Dari Abu Hurairah ia berkata ada dua orang lelaki dari Baliy dari Qudhaah yang elah masuk islam bersama Rasulullah, lalu salah satunya gugur sebagai syahid, sedang yang lain ditangguhkan satu tahun. Thalhah bin 'Ubaidillah berkata,"Aku bermimpi melihat orang yang ditangguhkan dari keduanya masuk surga sebelum yang mati syahid, maka aku takjub". Pagiharinya, kusebutkan hal itu kepada Nabi atau disebutkan hal itu kepada rasulullah. Lalu beliau bersabda,"Bukankah dia sudah berpuasa ramadhan, dan mengerjakan enam ribu rakaat, dan sekian dan sekian rakaat shalat dalam setahun? dan dalam tambahan yang shahih dalam riwayat Ibnu hibban:(jaak) antara keduanya lebih jauh daripada jarak antara langit dan bumi." (Lihat Shahih At-Targhib wat tarhib)

7. Sesungguhnya shalat adalah cahaya, yang menerangi jalan seorang hamba di dunia dan diakhirat

Dari Abu Malik Al-Asy'ari ia berkata Rasulullah bersabda "Bersuci adalah separuh dari iman, alhamdulillah memenuhi timbangan, subhanallah dan alhamdulillah keduanya memenuhi (atau ia memenuhi) yang diantara langit dan bumi, shalat adalah nur, shadaqah adalah bukti, sabar adalah cahayam dan al-quran sebagai hujjah bagimu atau untukmu." (Muslim)

8. Sesungguhnya banyak melakukan shalat dan sujud adalah cara atau jalan untuk bisa bersama Nabi kelak di surga.

Dari Rabiah bin Ka'ab ia berkata,"Aku pernah bermalam bersama Rasulullah aku mengambil air untuk beliau berwudhu dan kebutuhan beliau, lalu beliau bersabda,"Mintalah kepadaku." Aku berkata,"Aku minta kepadamu agar aku kelak bersamamu di surga." Beliau berkata,"Tidakkah ada yang selain itu?" Aku berkata,"Itulah permintaanku." Beliau berkata,"Kalau begitu, bantulah aku atas dirimu dengan banyak sujud." (Muslim)

9. Bahwasanya shalat dua rakaat shalat lebih disukai oleh orang yang sudah meninggal dunia daripada dunia dan seisinya.

Abu Hurairah bekata bahwa Rasulullah bersabda pernah melewati sebuah kuburan, lalu beliau bertanya "Siapa penghuni kuburan ini?" Mereka menjawab,"Fulan." Lalu beliau bersabda,"Dua rakaat (shalat) lebih disukai oleh orang ini daripada semua dunia yang ada pada kalian." (Ath-Thabrani)

10. Bahwasanya mengosongkan hati dan jiwa hanya untuk Allah di dalam shalat akan menjadikan keadaan seseorang muslim sebagaimana ketika ia dilahirkan oleh ibunya.

Referensi:
Khusyu Rahasia dan pengaruhnya terhadap iman , Husein Al Awaisyah, Pustaka Ar-Rayyan

(sumber : http://www.catatanlepas.com/lain-lain/39-aneka-tips-dan-keutamaan/149-keutamaan-shalat-lima-waktu.html)
----------------------------------------------

KEUTAMAAN SHALAT DAN PERINGATAN AGAR TIDAK MENINGGALKANNYA

1.Allah berfirman :

] وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ (9) أُوْلَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ(10) الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ[ سورة المؤمنون
“Dan orang-orang yang memelihara shalatnya, mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga firdaus, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Mu’minun : 9-11)

2.Allah berfirman :

] وأقم الصلاة إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر [
“Dan kerjakanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (Al-Ankabut : 45).

3.Alllah berfirman :

] فويل للمصلين. الذين هم عن صلاتهم ساهون [
“Celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang yang lalai dalam shalatnya (menunda-nunda sehingga keluar dari waktunya).” (Al-Ma’un : 4-5)

4.Allah berfirman :

] قد أفلح المؤمنون الذين هم في صلاتهم خاشعون [
“Sungguh bahagialah orang-orang mu’min yang khusyu’ dalam shalatnya.” (Al-Mu’minun : 1-2)

5.Allah berfirman :

]فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا[ (59) سورة مريم
“Lalu datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam ; 59)

6.Rasululloh Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
“Tahukah kamu, apabila di dekat pintu rumahmu terdapat sebuah sungai dan kamu mandi lima kali sehari? Apakah badanmu masih kotor? Para sahabat menjawab : Tidak! Nabi bersabda lagi : begitulah halnya shalat yang lima kali sehari, Allah menghapuskan dosa-dosa manusia dengan shalat itu.” (Hadits Muttafaq Alaih).

7.Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka ia telah kafir.” (Hadits shahih riwayat Ahmad).

8.Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
“Tonggak pemisah antara seseorang muslim dengan kafir adalah shalat.” (Riwayat Muslim).

(Sumber : http://peperonity.com/go/sites/mview/assunnah.buku4/15195296)
----------------------------------

KEUTAMAAN SHALAT

Abdullah bin Umar berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun atas lima pondasi: Yaitu persaksian bahwa tidak ada sembahan (yang berhak disembah) melainkan Allah, bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)

Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا
بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّه
ِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sembahan (yang berhak disembah) kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 25 dan Muslim no. 21)

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata: Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلَاةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ

“Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah shalatnya. Rabb kita Jalla wa ‘Azza berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui-, “Periksalah shalat hamba-Ku, sempurnakah atau justru kurang?” Sekiranya sempurna, maka akan dituliskan baginya dengan sempurna, dan jika terdapat kekurangan maka Allah berfirman, “Periksalah lagi, apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah?” Jikalau terdapat shalat sunnahnya, Allah berfirman, “Sempurnakanlah kekurangan yang ada pada shalat wajib hamba-Ku itu dengan shalat sunnahnya.” Selanjutnya semua amal manusia akan dihisab dengan cara demikian.” (HR. Abu Daud no. 964, At-Tirmizi no. 413, An-Nasai no. 461-463, dan Ibnu Majah no. 1425. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 2571)

Penjelasan ringkas:

Shalat merupakan rukun Islam kedua dan merupakan amalan yang paling utama dan paling dicintai oleh Allah Ta’ala. Ar-Rasul -alaihishshalatu wassalam- menjadikannya sebagai penjaga darah dan harta, sehingga kapan seseorang meninggalkannya maka darah dan hartanya akan terancam.

Karena sangat pentingnya shalat ini, sampai-sampai dialah amalan pertama yang hamba akan dihisab dengannya pada hari kiamat. Di dalam hadits Ibnu Mas’ud secara marfu’ disebutkan:

أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ الصَّلَاةُ وَأَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فِي الدِّمَاء
ِ
“Amalan pertama yang dengannya seorang hamba dihisab adalah shalat dan sesuatu pertama yang diputuskan di antara para manusia adalah mengenai darah.” (HR. An-Nasai no. 3926 dan selainnya)

Maksudnya, amalan yang berhubungan antara hamba dengan Allah, maka yang pertama kali dihisab darinya adalah shalat. Sementara amalan berhubungan antara makhluk dengan makhluk lainnya, maka yang pertama kali dihisab adalah dalam masalah darah.

Hadits Abu Hurairah di atas juga menunjukkan keutamaan shalat sunnah secara khusus, bahwa dia dijadikan sebagai penyempurna dari kekurangan yang terjadi dalam shalat wajib, baik kekurangan dari sisi pelaksanaan zhahir maupun kekurangan dari sisi batin dan roh shalat tersebut, yaitu kekhusyuan. Wallahu a’lam

(sumber : http://al-atsariyyah.com/keutamaan-shalat.html )
---------------------------------

KEUTAMAAN SHALAT

Shalat adalah ibadah yang utama dan berpahala sangat besar. Banyak hadits-hadits yang menerangkan hal itu, akan tetapi dalam kesempatan ini kita cukup menyebutkan beberapa di antaranya sebagai berikut:

1. Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang amal yang paling utama, beliau menjawab: "Shalat pada waktunya". (Muttafaq 'alaih)

2. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : Bagaimana pendapat kamu sekalian, seandainya di depan pintu masuk rumah salah seorang di antara kamu ada sebuah sungai, kemudian ia mandi di sungai itu lima kali dalam sehari, apakah masih ada kotoran yang melekat di badannya?" Para sahabat menjawab: "Tidak akan tersisa sedikit pun kotoran di badannya." Bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam: "Maka begitu pulalah perumpamaan shalat lima kali sehari semalam, dengan shalat itu Allah akan menghapus semua dosa." (Muttafaq 'alaih)

3. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : "Tidak ada seorang muslim pun yang ketika shalat fardhu telah tiba kemudian dia berwudhu' dengan baik dan memperbagus kekhusyu'annya (dalam shalat) serta ru-ku'nya, terkecuali hal itu merupakan penghapus dosanya yang telah lalu selama dia tidak melakukan dosa besar, dan hal itu berlaku sepanjang tahun itu." (HR. Muslim)

4. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam: "Pokok segala perkara itu adalah Al-Islam dan tonggak Islam itu adalah shalat, dan puncak Islam itu adalah jihad di jalan Allah." (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan lainnya, hadits shahih)

Peringatan bagi orang yang meninggalkan Shalat

Ada beberapa ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang merupakan peringatan bagi orang yang meninggal-kan shalat dan mengakhirkannya dari waktu yang semes-tinya, di antaranya:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang buruk) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturut-kan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kerugian." (Maryam: 59)

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya." (Al-Ma'un: 4-5)

3. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam:

"(Yang menghilangkan pembatas) antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim)

4. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam:

"Perjanjian antara kita dengan mereka (orang munafik) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka sesungguhnya ia telah kafir." (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan An-Nasai, hadits shahih)

5. Pada suatu hari, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbicara tentang shalat, sabda beliau:

"Barangsiapa menjaga shalatnya maka shalat tersebut akan menjadi cahaya, bukti dan keselamatan baginya pada hari Kiamat nanti. Dan barangsiapa tidak men-jaga shalatnya, maka dia tidak akan memiliki cahaya, tidak pula bukti serta tidak akan selamat. Kemudian pada hari Kiamat nanti dia akan (dikumpulkan) ber-sama-sama dengan Qarun, Fir'aun, Haman dan Ubay Ibnu Khalaf." (HR. Ahmad, At-Thabrani dan Ibnu Hibban, hadits shahih)
Percekcokan Dalam Rumah Tangga Bernilai Ibadah ? Benarkah ?
Oleh Rina M. Taufik


"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka dengan karuniaaNya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui." (QS. An Nuur (24) : 32).
Salah satu anjuran Rasulullah untuk Menikah :
Rasulullah SAW bersabda: "Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !"(HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.).

Pernikahan menyatukan dua energi besar untuk sama-sama berjuang menggapai ridlo Allah SWT. Penyatuan energi sehingga membentuk suatu sinergi tentunya membutuhkan waktu untuk saling menyesuaikan diri. Dalam proses penyesuaian itulah akan banyak ditemui ketidakcocokan, pergesekan yang menimbulkan konflik dari masing â€"masing pasangan. Betapa tidak masing-masing memiliki latar belakang budaya, kebiasaan, karakter yang berbeda untuk diselaraskan sesuai dengan keinginan Allah SWT dalam sebuah pernikahan.

Agar konflik dan masalah dalam berrumah tangga dapat diminimalisir maka setiap pasangan harus memiliki pengetahuan yang cukup sebelum mereka memasuki jenjang pernikahan, sehingga dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka sudah siap menghadapi goncangan, pergesakan dan hambatan yang ada.
Pernikahan
Pernikahan adalah konsep sakral dari sebuah kontak (ijab Qobul) secara syah yang dilakukan oleh pasangan lelaki dan perempuan sesuai tata nilai hukum yang berlaku, baik hukum positif maupun hukum religius.

Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan. Qabul artinya menerima. Jadi Ijab qabul artinya seseorang menyatakan sesuatu kepada lawan bicaranya, kemudian lawan bicaranya menyatakan menerima. Ijab qabul adalah seorang wali atau wakil dari mempelai perempuan mengemukakan kepada calon suami anak perempuannya/ perempuan yang di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan lelaki yang mengambil perempuan tersebut sebagai isterinya. Lalu lelaki bersangkutan menyatakan menerima pernikahannya itu.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa:Sahl bin Said berkata: "Seorang perempuan datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk menyerahkan dirinya, dia berkata: "Saya serahkan diriku kepadamu." Lalu ia berdiri lama sekali (untuk menanti). Kemudian seorang laki-laki berdiri dan berkata: "Wahai Rasulullah kawinkanlah saya dengannya jika engkau tidak berhajat padanya." Lalu Rasulullah shallallahu alaih wa sallam bersabda: "Aku kawinkan engkau kepadanya dengan mahar yang ada padamu." (HR. Bukhari dan Muslim).

Secara umum tujuan suatu penikahan menurut Islam adalah untuk mencapai ridho Allah, secara khusus yakni :
1. Mengabdi ke hadapan Allah.
2. Malaksanakan sunnah Rasulullah.
3. Melanjutkan generasi muslim sebagai pengemban risalah Islam.
4. Membentuk suatu masyarakat islami.
5. Mendapatkan ketenangan jiwa.

"Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka mereka ( adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS At-Taubah: 71)
Percekcokan dalam Rumah TanggaDalam suatu interaksi dua manusia yang berlatar belakang beda baik secara kultur, karakter dan gaya hdup sudah dapat dipastikan tidak akan lepas dari suatu pergesekan nilai dan kebiasaan, sehingga menimbulkan suatu percekcokan.Hal ini sangat wajar dan manusiawi, jangankan pasangan seperti kita manusia biasa, rumah tangga Rasulullah pun tidak lepas dari percekcokan, yang membedakannya dengan kita Rasulullah memiliki akhlaq yang mulia dan dibimbing oleh Allah untuk menjadi contoh bagi ummatnya.

Banyak keluarga muslim yang hanya karena masalah kecil mengakhiri pernikahan, suatu ikatan yang telah Allah kokohkan. Masalah bisa saja hanya bermula dari salah persepsi karena komunikasi yang tidak lancar sehingga menimbulkan salah pengertian atau mungkin kebiasaan kecil suami yang tidak disukai isteri atau juga ketidaktepatan mengekspresikan emosi seperti kecewa, marah. Semuanya bisa saja terjadi hanya saja ada pasangan yang mampu mengatasi masalah kecil tersebut dengan baik ada juga yang tidak mampu menyelesaikannya sehingga masalah kecil tersebut menumpuk dan menjadi bom waktu yang akan menghancurkan bahtera rumah tangga yang sedang dibangun.

Faktor-faktor penyebab terjadinya percekcokan dalam rumah tangga adalah:

1. Kurang lancarnya komunikasi


Komunikasi menjadi bagian yang sangat penting dalam berrumah tangga, bagaimana mungkin masing-masing pasangan mengetahui keinginan dan harapan pasangannnya kalau tidak adanya komunikasi yang baik sehingga keinginan dan harapan tersampaikan dan tidak salah persepsi. Seorang suami atau isteri hendaknya menyampaikan pesan dengan lembut dan baik, tentunya dengan mempertimbangkan pula waktu dalam menyampaikan pesan tersebut.

Suami yang baru saja pulang kerja dengan badan yang lelah dan perut yang lapar tidak mungkin seorang isteri menyampaikan keluhannya sepanjang siang itu, tapi harus menunggu waktu yang tepat dimana suami dalam keadaan yang santai dan tenang

2. Kurangnya pengetahuan/ ilmu


Sebelum memasuki jenjang berrumah tangga calon suami atau isteri sebaiknya menggali dan menyempurnakan ilmu tentang pernikahan, dengan ilmu maka kita akan paham seperti apa rumah tangga yang dicontohkan Rasulullah dan bagaimana melajukan bahtera di tengah lautan kehidupan yang bergelombang.

3. Kurangnya pengendalian diri masing-masing pasangan

Sebelum menikah mungkin segalanya tampak indah di depan mata. Satu, dua, tiga bulan pertama semuanya bak di syurga dunia, tapi ketika usia pernikahan memasuki bulan keempat mulailah masalah bermunculan. Disini kita harus mampu mengendalikan diri kita. Kemampuan kita dalam mengendalikan diri diuji oleh Allah. Sikap yang tepat dalam menghadapi dan mengatasi masalah adalah dengan senantiasa berlindung dan memohon pertolongan Allah untuk tetap tenang, diberi kemudahan untuk berpikir jernih dan bertindak tepat.

Banyaklah belajar dari pengalaman orang-orang yang sudah berpengalaman dalam berrumah tangga, khususnya keluarga-keluarga mukmin, bagaimanakah mereka mengatasi konflik rumaha tangga, bagaimanakah mereka mengendalikan diri ketika menghadapi masalah.

4. Tidak adanya kesadaran sebagai hamba


Seorang hamba Allah sepanjang hidupnya selalu mengabdi, segala aktifitasnya harus selalu bernilai ibadah di hadapan Allah dalam QS. Adz Dzaariyaat : 55 dikatakan ” dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi (beribadah) kepadaKu”

Maka seorang hamba Allah akan meninggalkan semua sikap dan perilakunya yang tidak bernilai ibadah. Semua yang dilakukannya harus untuk dan atas nama Allah, dengan bertitik tolak pada ”Sukakah Allah dengan apa yang akan kulakukan?”
Benarkah Budaya Jawa ”Nrimo” Sesuai Syariat Islam?
Perempuan adalah mahluk yang sangat istimewa dengan kehalusan budi pekerti, kelembutan cinta, wajah nan anggun berwibawa, suara yang lirih, langkah yang gemulai dan sikap yang taat, patuh, hormat pada orang tua serta berbakti pada suami, merupakan gambaran perempuan di mata bangsa Jawa dan beberapa bagian di Indonesia. Tabu jika ada seorang perempuan yang lantang, memberontak terhadap suatu keputusan orang tua atau suaminya, melanggar adat katanya. Bahkan ketika seorang suami menyakitinya, menjadikannya isteri simpanan pun tabu baginya untuk menolak apa lagi melawan.

Nilai-nilai tersebut semakin menguat dengan datangnya Islam ke Pulau Jawa, walau salah kaprah dalam memahaminya budaya ’nrimo’ sudah menjadi bagian dari kehidupan beragama di Jawa. Suami adalah pimpinan rumah tangga sehingga apa yang dikatakannya mutlak harus ditaati ’pamali’ jika membantah atau menolak.

Sebenarnya perintah taat dalam Islam tidak demikian, selalu diikuti kata ”selama pimpinan (baik kepala rumah tangga, pemimpin masyarakat dan pimpinan negara) tersebut tunduk dan taat kepada Allah dan RasulNya.

Ketaatan kepada ulil amri merupakan ketaatan bersyarat yakni taat manakala ulil amri tersebut berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah, apalagi ketaatan terhadap seorang suami. Taat dan patuh kepada suami adalah semata-mata hanya karena Allah telah memerintahkannya, sehingga semua yang dilakukan suami atau isteri akan bernilai ibadah manakala ia melakukannya atas nama Allah SWT, mencintai suami atau isteri merupakan bentuk kecintaan terhadap Allah SWT.

Manakala seorang pimpinan berbuat menyimpang dari Al Qur’an dan sunnah Rasulullah maka ketaatan tersebut menjadi batal adanya. Dalam berrumah tangga jika suami berbuat salah maka isteri wajib mengingatkannya, mengajaknya kembali ke jalan yang benar, tetapi jika berbagai cara telah dilakukan untuk mengingatkan suami maka suami tersebut tidak wajib untuk ditaati, sehingga ’nrimo’ nya Jawa tidak berlaku. Dalam hal ini manakala suami menyimpang dari ketentuan Allah SWT maka isteri tampil bak seorang ’Srikandi’ di medan perang gigih berjuang melemahkan nafsu syetan yang ada dalam diri suami.

Seperti telah disebutkan di atas QS At Taubah : 71 "Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka mereka ( adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS At-Taubah: 71)

Suami isteri harus merupakan penolong menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah pada hal yang munkar, sehingga ketika percekcokan suami isteri karena salah satunya menyimpang dari ketentuan Allah, maka pasangannya mengingatkan dan meluruskannya, sehingga percekcokan tersebut akan bernilai ibadah. Percekcokan inilah yang dibenarkan oleh Allah SWT dan bahkan dianjurkan, seperti dalam hadits Bukhori Muslim
”
Jika melihat kemunkaran cegahlah dengan tanganmu, jika tidak mampu cegah dengan lisanmu dan jika tidak mampu cukuplah dengan hati maka itulah selemah-lemahnya iman”Suami dan Isteri Sebagai Partner

Era globalisasi informasi telah mengubah pandangan tentang wanita dan isteri, posisi wanita bukan berada di bawah telunjuk pria atau kaum suami tetapi memiliki kedudukan yang sama bahkan lebih tinggi. Fenomena pandangan tentang wanita ’mampu mengerjakan semua pekerjaan seperti halnya pria’ telah menyeret wanita meniggalkan fitrahnya,banyak ditemukan keputusan dan pengelolaan rumah tangga mutlak di tangan isteri, sehingga suami kehilangan wibawa dan pengaruhnya dalam memimpin rumah tangga.

Islam dien yang menjunjung tinggi wanita, dalam Islam wanita adalah partner dalam menjalani biduk rumah tangga. Wanita dan pria sama-sama sebagai subyek bukan obyek. Namun tetap pria dengan berbagai kelebihan yang Allah berikan ia sebagai pemimpin dalam berrumah tangga. Isteri dalam hal ini sebagai partner, sebagai wakil di rumah tangga.

Jika fitrah yang Allah tetapkan ini dilanggar maka lihatlah kesudahan orang-orang yang tidak mentaati ketetapan Allah SWT, malapetaka dan kehancuran yang akan didapat., serta jauh dari rahmat dan kasih sayang Allah SWT.

Menjalankan peran sebagai subyek dalam rumah tangga, berarti isteri memiliki kewajiban untuk menolong, meluruskan suami ketika suami berbuat menyalahi aturan Allah SWT, sudah barang tentu sebaliknya jika isteri menyimpang dari jalan Allah SWT maka suami berkewajiban mendidik dan mengarahkannya ke jalan yang benar.

Jika dalam menjalankan perannya baik suami atau isteri tidak mau mendengarkan tausyiah kita maka percekcokan akan terjadi, namun percekcokan ini akan menjadi ibadah di hadapan Allah, sehingga tidak perlu khawatir selama kita benar sesuai dengan ketetapan Allah janganlah takut atau merasa bersalah pada saat kita harus adu mulut atau mungkin adu otot dengan pasangan kita.

Dari uraian di atas maka sebaiknya calon isteri atau suami sebelum memasuki jenjang pernikahan, sempurnakanlah ilmu dan pengetahuan tentang berrumah tangga sesuai tuntunan Rasulullah SAW .Melalui tahapan seperti di bawah ini :

1. Ta’aruf


” Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (QS.Al Hujurat : 13)

Ta’aruf tidak identik dengan pacaran, ta’aruf artinya saling mengenali diri masing- masing. Proses ta’aruf sebelum menikah hanya dibolehkan jika sesuai syariat yang telah Allah tetapkan, bukan liar dan tidak terkontrol. Ta’aruf yang dibenarkan memiliki rambu-rambu sebagai berikut :
- bertujuan mengenali pasangan untuk menuju jenjang pernikahan (bukan untuk eksploitasi hawa nafsu)
- tidak berduaan, harus ada muhrim dari pihak calon mempelai perempuan
- pembicaraan tidak mengarah pada hal-hal yang menimbulkan birahi
- saling menyesuaikan diri satu sama lain
Dalam ta’aruf ini hendaknya masing-masing pasangan saling bertanya mengenai :
- Apa yang menjadi tujuan dan hidup pasangannya?
- Apa saja yang disukai?
- Apa yang dibenci?
- Apa saja yang membuatnya kecewa?
- Apa saja yang membuatnya marah ?
- Apa cita-citanya?
- Apa tujuan menikah?
- Bagaimana cara mengatasi masalah selama ini?
- Dan lain sebagainya.
Sehingga jika masing-masing pasangan mengenai kebiasaan dan sifat calon istri atau suaminya, ia memiliki bahan untuk saling menyesuaikan diri.

2. Tafahum


Tafahum adalah saling memahami, setelah masing-masing pasangan saling mengenal maka tahapan selanjutnya adalah saling paham, mengerti dan menyesuaikan diri kebiasaan masing-masing, sehingga semua masalah dihadapi dengan tenang karena masing-masing mengetahui cara pandangnya.

3. Ta’awun


"Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka mereka ( adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS At-Taubah: 71)

Ta’awun berarti saling menolong, seperti ayat di atas bahwa suami/isteri adalah penolong bagi pasangannya, saling mengingatkan dalam kebenaran dan kebaikan dengan penuh kasih sayang.

4. Takaful


Takaful artinya penyeimbang, pasangan suami isteri harus menjadi penyeimbang dari kekurangan dan kelebihan masing-masing. Kekurangan yang dimiliki isteri hendaknya dilengkapi oleh kelebihan yang dimiliki suami begitupun sebaliknya, sehingga sama-sama berproses untuk saling melengkapi dan saling menyempurnakan untuk menjadi hamba allah yang berprestasi.
Toilet Training

Oleh Rina M.Taufik


Dalam tidurnya yang lelap dan kadang-kadang tersenyum ….kucoba menebak mimpi yang tengah berlangsung , ia mungkin sedang menyanyi, nari di atas meja ‘oshin’ yang sering ia lakukan sambil memegang potongan kaki boneka yang dianggapnya sebagai mic…”..cicak-cicak…di tintin yam yam rayap datang ekor muk…lalu tttangkap..”

Ah anakku sayang, aku terus memandanginya ada bulu-bulu halus di pangkal dahinya wajahnya bersih, polos tanpa dosa….yang akan membuat siapapun senang melihatnya. Temanku bilang anak adalah pelipur lara, obat stress dan depresi

Baru ku sadari kalau ia sudah 23 bulan lebih 2 minggu ……ya Allah aku lupa…menurut buku yang kubaca sudah saatnya ia berlatih ke toilet. Selain anakku aku mengingat Naki, Syifa, Siddiq dan WTC (Wafa Tsabitah Qorina….) anak saudaraku yang sebaya dengan anakku. Apa Ibu mereka pun lupa seperti aku…..???????????

Toilet Training
Adalah latihan mengontrol buang air, usia yang tepat untuk berlatih sekitar 18-24 bulan sangat tergantung pada perkembangan beberapa otot tertentu , minat dan kesadarannya akan’basah’yang bersumber dari tubuhnya, sehingga ia mulai sadar bahwa ada hubungan antara genangan air dengan dengan dirinya.

Jika anak sudah memiliki kesadaran seperti itu maka

1. Kenalkan apa yang disebut dengan ‘pipis’ dan buang air besar
Menjelaskan dengan gambar akan lebih bermakna dan anak tertarik, gambar proses terjadinya kencing dan feces (…banyak buku yang memperlihat itu…misalnya WWP, buku Pengetahuan Tubuhmu dari PT Mandira untuk anak dan banyak lagi) berceritalah kepada mereka biarkan ia melihat dan mendengarkan kita (walaupun anak seusia ini tidak focus dalam mendengarkan kita tapi telinganya kan bolong…., artinya otaknya siap menerima informasi dari kita)
2. Pesankan jika sudah terasa mau buang air bilang “mama mau pipis….or …eo…”
3. Biasakanlah untuk membawa anak kita ke jamban pada jam-jam tertentu (berdasarkan kebiasaan, lakukan pengamatan setiap berapa lama anak buang air) jam yang hampir tiap anak sama adalah pada saat bangun tidur dan sebelum tidur
4. Belilah pispot untuk anak (bila perlu) , dudukanlah ia diatasnya
5. Belilah celana yang sederhana yang memudahkannya untuk membuka ia ia terasa mau buang air.
6. Bersikaplah santai menghadapinya dan jangan sekali-kali memaksanya
7. Berilah pujian pada setiap sikap yang positif dan lupakanlah kegagalan anak
Tempertantrum
Oleh : Rina M. Taufik
Hasil gambar untuk Tempertantrum
Dulu ketika masih usia 3 tahun zaki anakku yang sulung sering ngamuk, nangis engga karuan begini salah, begitu salah, bukan yang ini, bukan yang itu,…sesekali kepalanya ia bentur2 kan ke dinding….kalau sudah begini aku suka bingung maunya apa…aku sering bertanya pada beberapa teman tapi jawabannya tidak ke subtansi masalah. Alhamdulillah Allah mempertemukan aku dengan Zaonaina Yuhaditsi yang beberapa tahun belakangan aku akrab dengan beliau. Tidak seperti dugaan teman2 beliau orang yang bersahaja, orang yang memiliki semangat hidup yang sangat tinggi, sikapnya yang tegas, jelas, lugas (mirip motto Media Indonesia…he..he..) ada yang menyatukan kami yaitu kesungguhannya untuk konsen di dunia pendidikan, kami sama2 orang yg memiliki kepeduliaan terhadap pendidikan

Aku sering bertukar pikiran dengannya tentang berbagai hal…tentang anak yang suka ngompol, anak yang suka ngemut jari, anak yang suka ngamuk…….dan kami pun sering mendiskusikan isi buku tentang psikologi anak atau majalah yang berkenaan tentang itu seperti Ayahbunda
Dari beberapa obrolan kucoba tulis mengenai temper tantrum

Temper tantrum………….
Nama yang aneh bukan….(kalo temanku bilang…mahluk apa temper tantrum itu….)

Temper tantrum adalah mengamuk, amarah yang meledak-ledak yang sering terjadi pada usia 2-4 tahun di saat mereka ingin menunjukkan kemandirian dan sikap negativistiknya, biasanya amukan ini merupakan jeritan, tangisan, membentur-benturkan kepala, memukul-mukul,menyepak, berguling-guling dan kekakuan tubuh ( dalam basa sunda namanya jejengkeng)

Penyebab??


1. Terlalu lelah
Jangankan anak orang tua pun sama jika kondisi kita sedang lelah/cape (meminjam istilah teman…rungsing….) kita sulit untuk mengendalikan emosi kita, oleh karena itu cegahlah anak untuk tidak terlalu cape, pastikan anak cukup tidur dan makan. Jika anak kita terlihat tegang ajarkan relaksas dengan cara menarik nafas atau mengajaknya bercanda


2. Keinginan tidak terpenuhi
Balita memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, eksplorasi, gemar bertanya tentang ini dan itu, dan keinginan untuk selalu mencoba banyak hal termasuk keinginan-keinginan yang tidak masuk akal. merupakan cirri utama masa kanak-kanak. Kadang-kadang ada permintaan atau keinginan2 yg sulit dikabulkan, sehingga memicu anak untuk temper tantrum


3. Frustasi
(hehehe..ternyata anak2 kenal juga prustasi ya…) gagal melakukan sesuatu akan membuat anak2 kecewa dan emmicu meraka untuk mengamuk


4. Keterbelakangan Mental
Anak yang mengalami keterbelakangan mental misalnya anak dengan gangguan bicara, pada saat ia kesulitan mengungkapkan keinginannya, ia pun akan temper tantrum

5. Ada contoh (melihat orang lain)
Orang yang terdekat dengan anak tentunya akan menjadi rujukan mereka dalam bersikap, misalnya orang tua yang tidak bisa mengendalikan emosi, mudah marah dalam menghadapi masalah akan membuat anak-anak mencontoh perilaku kita


6. Factor kondisional
Situasi yang sangat tidak menyenangkan yang dialami anak misalnya seperti kesal dengan teman yang sering meledek, atau keasyikan bermain terganggu karena orang tua memaksa melakukan sesuatu
Penanganan??
Ada 10 cara menangani temper tantrum
1.
Hadapi dengan tenangHadapi anak dengan tenang, kendalikan emosi kita (….ingat kita sedang berhadapan dengan anak yg akan meniru prilaku kita…)
2.
Abaikan amukan anakBuatlah anak sadar bahwa perbuatannya sia-sia (dicuekin gitu lho…..) ketika kita membiarkannya jangan sekali-kali melihat kearahnya, karena satu lirikan saja tertangkap oleh anak bias menjadi alas an bagi anak untuk meningkatkan intensitas amukannya, jadi berlagaklah tak acuh.
3. Ulangi perintah/ memperjelas perintah
Hentikan amukan anak dengan memperjelas dan mengulang perintah, mungkin tangisan anak akan mengeras tapi jangan pedulikan tangisannya, misalnya jika kamu mau ikut ibu, mandi dulu …atau hentikan dulu tangisanmu….(jika penyebabnya anak ingin ikut ibu….)
4. Gunakan time out
Dudukkan anak di kursi/ sudut ruangan dan sebelumnya katakan “kamu boleh ngamuk tapi kalau kesal ibupun boleh mengamuk seperti kamu, diamlah…) lalu awasi dari kejauhan reaksinya.
5. Pegang dan pelukSeringkali anak mengamuk dengan melakukan hal yang berbahaya, bagi dirinya maupun orang lain, peluklah anak dari belakang dan segera bawa ke tempat yang tenang dan aman. Begitup anak mengendurkan agresivitasnya kita pun kendurkan pelukan kita, kemudian ajaklah ia bicara dari hati ke hati dengan suara yang rendah dan lembut, hendari kata-kata mengancam.6. Lebih mendekatkan diri pada anakBila anak nampak sedih, kecewa dan frustasi berilah saran tentang jalan keluar masalahnya dan biarkan ia menentukan yang mana yang akan ia ambil7. Perkuat dengan hadiahBeri anak perlakuan ekstra jika berkelakuan manis namun hindari kata2” baguslah kamu tidak mengamuk..” tapi katakan “ Ibu senang kamu mau mendengarkan ibu…oleh karena itu ambillah es krim ini”8. Ajak anak bicara dari hati ke hatiBerbicaralah dengan anak, sampaikan bagaimana perasaan kita dan terhadapnya dan gambarkan bagaimana perasaan kita dan dia ketika mengamuk9. Ajarkan anak bicara dengan dirinya sendiriAjarkan anak untuk menetralkan amarah dengan cara berkata-kata pada diri sendiri tentang kemarahannya dan bagaimana ia mengendalikannya misalnya “..Tono memang menyebalkan tapi tak apalah mungkin ia habis dimarahi bapaknya…”10. Lupakan anak pernah mengamukAjaklah anak bermain kembali seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa, tak usah menyebut-nyebut amukannya.

Wallahualam …………
Kita harus belajar mengendalikan emosi karena kita sedang berhadapan dengan calon pemimpin bangsa masa depan yg butuh uswah dari kita……….
Happiness is a Choice, by Barry Neil Kaufman
Dari Buku :
Hasil gambar untuk Happiness is a Choice
HAPPINESS IS A CHOICE by Barry Neil Kaufman
She had just celebrated her thirty-seventh birthday. She came, she said, to work on anger and forgiveness. Her mother had conceived her after being raped by an acquaintance. Wounded and meek, the woman never filed any charges. Now the child of that act of violence wanted to make peace with what she called "the unthinkable."

Her own successful marriage, her delight in her two sons, and the enjoyment of a developing sales career had been dimmed by the gnawing anger she directed at phantom images of a man she had never seen. Initially, she considered her intense emotions as a cross of outrage she would bear the rest of her life. Then, she held on to the bitterness to protect herself and those she loved from such "subhuman" behavior as the rape of her mother. Finally, exhausted by pain, she wanted to somehow move beyond her narrow view and come to a new understanding.

"This man has never seen me, though he knows I exist. He is old now, riddled with cancer. I have even located where he lives; I know his exact address. At first, when I found him I thought about cursing him or beating him with my fists. Oh, God, I want out of this misery and all I do is get myself deeper in. Instead of practicing peacefulness, I practice rage!"

No one would fault this woman for her wrath. Some might even see justice in a finger-pointing confrontation with her "father." However, she knew she had been twice the victim: first, of a stranger's violence toward her mother and then of her own emotional violence toward herself. The first violence had passed years before; the second continued simmering inside.
While exploring these issues, she came to a crucial awareness. "If I continue to see him as terrible, I will never let go. Never! I really have to look at this person differently for my own salvation.
" She shook her head and sighed. "Okay. This will probably sound stupid, but the man's a human being isn't he?" She smiled. "I know, Bears, you won't give me the answers; I have to find them myself. Okay, then yes, I agree with myself; he's a human being. Violent, probably miserable, but still human like you and me.".
"What does it mean to you to call him human?" I asked.
"It means he's fallible. And it means I don't have to hate him forever. If I could just figure out how to let go of this anger, well, then I'd be free and at peace with myself."
"How do you think you can let go of it?"

Her eyes closed as she covered her face with her hands. In a muffled voice, she said "I know how to do it, I really do. Forgiving him would be letting go." With those words she began to cry. In subsequent sessions and in dialogues with her own husband, she formulated a plan of action which would change her life.

Two weeks later, she flew to a remote Midwestern city, rented a car, and drove hundreds of miles to a small rural village. She telephoned this man's younger daughter, the product of an eventual marriage, and introduced herself without referring directly to the rape. The other woman hesitated, then refused to invite her to the old man's home. She announced that she would come anyway; they could turn her away at his door if they wanted.
Old paint peeled off the side of the house. Shutters hung askew beside blackened windows. As she walked along a dirt path to the front door, she saw the woman who must have spoken with her on the phone standing on the porch with her arms crossed.

"I won't stop you," the woman, declared coldly, then stepped aside while maintaining her obvious vigil.
After she knocked on the door several times, a man's voice told her to enter. One small lamp cast its dim light over the room. An old man, his shoulders hunched into his chest, sat quietly in a wooden chair. The deep lines on his face seemed chiseled by a crude and unforgiving knife. His reddened eyes peered at her uncomfortably. When he gestured for her to sit, his physical pain became apparent.
"I know who you are," he said in a whisper.
She couldn't talk. He was just a man, old and dying, nothing like the phantoms that had whirled in her mind. She struggled to find her voice. She had rehearsed the words hundreds of times on the plane. It's just a decision, she told herself.
Finally, in a whisper that matched his, she said: "I forgive you. I really do."
He nodded his head several times and then looked away. In a voice more audible, he said, "I'm sorry."

She rose to her feet. Just a human being, she thought, like me. Then she surprised herself by putting her arms around him. She had truly forgiven him. His words of apology had no meaning for her now; it was her new vision that had made her whole.
A vision (a frame of reference or viewpoint) is like an invisible friend we invent to help us make sense of unfolding circumstances. We create visions for the best of reasons: to protect ourselves, to honor those we love and to express caring. But we do not have to become prisoners of our perspectives; we can change them and our lives by developing a completely new world picture ... one human step at a time.

Our Beliefs Create Our World Picture, Which We Then Transmit to Others.


As individuals, each of us becomes a force within a shared field of ideas and visions. Two powerful aspects of our interactions can be discerned easily. First, we can acknowledge ourselves as receivers. We see, we hear, we smell, we taste, we touch and we consume and digest beliefs. Much like a television set, we receive a variety of signals. But now we can recognize our authority over the tuner or channel changer and ask ourselves what messages we want to invite into our homes and our minds. We are not talking about censorship or putting blinders on; we are speaking of exercising more consciously our right to determine the types of inspirations we want to bring into our lives.

In addition to receiving, we transmit our ideas and visions. As transmitters, we can be seen as similar to a television or broadcasting station. Our lives become beacons, communicating the attitudes we assume, the beliefs we create and the actions we take. We become more than role models; we seed the field of human experience with our perspectives and deeds.
A thirty-year-old mother, who had arranged private, individual sessions for herself and for her child at our learning center, asked in agony why her adolescent son would actually lift his hand to her and threaten bodily assault. When questioned gently and without judgments, the boy explained his action quite openly. Since his mother hit him and his sister to express her disapproval, he similarly used the threat of force to express his resistance to her.

Parents ask many questions about the perplexing behavior of their children. "Why does she complain all the time?" "Why does he shout angrily when he doesn't get his way?" "How come my child seems so ungrateful?" Although children learn from the media, friends and their own experiences, often the lessons learned at home have the most impact. We can use the behaviors of those around us to stimulate questions about our own transmissions. Do we complain? Do we shout? Do we fail to express gratitude? Our answers tell us not only what we teach those around us but also what we put into the human collective and reinforce for others as well as ourselves.


Our beliefs and attitudes not only bubble to the surface in our feelings and behaviors but also are apparently transmitted on subtle levels as well. Once, when working with a nonverbal special child, we introduced a volunteer into the room as an observer. The child withdrew almost immediately from participating with her regular teacher and scurried across the room, clearly putting distance between herself and this new arrival. When the volunteer left, the child rejoined her teacher and participated easily and joyfully once again. Later, when I questioned the young man about his experience as an observer, he admitted feeling exceedingly uncomfortable and judgmental of the little girl's wild head movements and hand flapping.
We have noticed over and over again that nonverbal children rely on their ability to pick up attitude "transmissions" even when the initiator camouflages his or her discomforts with smiles. They know. They have a capacity, akin to radar, to pick up non-visible signals. Words, even actions, do not distract them from getting a quick "fix" on a person's level of comfort. We all have that same capacity, but, unlike the special child, we have not maximized our skill. Many times, as verbal people, we focus on words alone. Yet on other occasions, we do "read" between the lines and take in data communicated less overtly.

The power of our beliefs and visions shape the character of our personal realities and impact on others around us. Recent scientific studies suggest that the "reach" of belief transmissions might go beyond anything we have ever imagined.

A contemporary biologist has noted a community of shared information among species, which he calls morphogenetic fields. Essentially, his unfolding theory suggests that species, even groups of species, share an invisible and intangible communications field which can be observed and tested.

Early experimental efforts to teach rats to move through mazes yielded some startling results. The first group of rats performed endless trial-and-error rituals before finding their way through the maze. They succeeded at the task only with great difficulty. The second group of rats appeared somewhat more proficient. Subsequent experiments with genetically unrelated groups of rats, who had never before seen such mazes moved through the mazes as if they had been pre-trained. Somehow training some members of the species impacted on the abilities of all the others.

In other research, a group of behaviorists took pigeons, believed to be quite uneducable, and tried a behavioral approach to teach them to peck on lighted panels in what became known as the Skinner box. Initially, it took a long teaching period to train the pigeons to just begin the pecking. Researchers find that pigeons now peck at lighted panels easily and quickly. Some people claim now that anyone could go to any city in the world, coax a pigeon into a Skinner box, and, in short order, perhaps only minutes, teach the creature to peck on lighted panels - a humorous suggestion about an outrageous yet testable reality. Teach one or more of a species and all the members begin to learn the lesson.

The implications escalate when we ask if our transmissions are confined to species within the animal kingdom. In 1966, one of the foremost experts on polygraph machines (lie detectors) tried a unique experiment. One morning, in his office, rather than hooking his lie detector to a person, he attached the electrodes to the palmlike leaves of a plant. His initial printout from the plant matched similar ones he had recorded when testing people at rest. He knew an individual under stress, frightened or agitated, would cause changes in the meter readings of the polygraph. Could he produce a similar response from plants?

He proceeded to water the plant to see if there was a measurable impact on the polygraph. There was no significant difference. Perhaps the analogy he hoped to demonstrate had no basis, he thought. However, he decided to escalate the experiment and precipitate stress by introducing a hot cup of coffee and dipping the leaves of the plant into the scalding liquid. Again, the reading did not register any significant change. He fantasized about what act he could perform to trigger a response in the plant if that was, indeed, possible. He considered finding matches and actually burning the leaves. As he rose from the chair to execute his idea, he noticed the readout on the polygraph moving frenetically. In subsequent experiments, he demonstrated repeatedly that his violent visualizations affected the foliage and plant life around him.


We could conclude from these studies that all living things communicate with each other through intelligence or morphogenetic fields. The implications are staggering. What each of us learns has the potential of becoming a message to all humankind and, perhaps, to all other life forms as well. Each life has profound significance.
A new question now arises. If we want to be happy and support a universe that nurtures such an endeavor, what data would we want to feed into the human collective? What would we want to engender and reinforce? What gifts of awareness, what deeds, would we want to give our children, our friends, our lovers, our parents, our community, humankind, the animals, the plants, even the rocks?


Whatever we put into the river will mix in the current and bounce back to us. If just one of us changes our beliefs and teaches happiness and love, then that attitude or information goes into the connective tissue of the community and enhances the aptitude for happiness of the entire human group.

People spend years, even lifetimes, rummaging through old memories and philosophies accumulated throughout the centuries in the pursuit of happiness or the promised land (where people are happy, loving and peaceful). The answer lies not behind us. We have to look forward toward a new vision that we can create - not merely in our lifetime, but right now!

The Way We Look at Life Determines Our Experience.

Such a simple insight presents each of us with an opportunity to make momentous changes in our lives. The only limits are the ones we create!
We can ask a new kind of question: not simply inquiring into "what is" but inquiring into what we want and what grasp of the universe would nurture and support a choice to be happier, more loving, more peaceful and more secure. Can we move away from the contemporary cauldron of pessimism to find a more useful and inspiring point of view? Rather than wait for a pie-in-the-sky apocalyptic event, we can take charge of our own evolution by changing our world view now.
The current cultural paradigm - the frame of reference from which we view the events unfolding locally and in our global village - suggests a scourge upon the land, with brother fighting brother, new diseases sweeping like plagues through generations of people, poverty and famine snarling at the doorsteps of human dignity, and a general ecological malaise hanging like a frightening veil over the planet's future.


Current events, as depicted by the news media, bombard our consciousness with one catastrophe after another, reinforcing a "victim" mentality. Reporters and newscasters endlessly parade, for our literary or visual consumption, the bodies of those killed, maimed or noticeably diminished by war, disease, violent crime, economic recession, poor parenting, drug or alcohol addiction, sexual abuse, food poisoning, train wrecks, air crashes, automobile collisions, tornadoes, hurricanes., floods and the like. Although we remain attentive, we numb ourselves, trying to put some distance between us and the brutality of those onslaughts. In the evening, we wonder how we made it through the day in one piece or, worse yet, how we will survive the unseen catastrophes of tomorrow.

We could decide, flat out, to stop watching and listening to the news ... and to stop reading it, too. We have made an addiction out of being "informed," as if knowledge of disasters could somehow contribute to our sense of well-being and serenity. Our lives will never be enriched by the gloomy pronouncements of unhappy people, fearing and judging all that they see. They follow fire engines racing toward billowing black clouds of smoke and ignore the smiling youngster helping an elderly woman carry her grocery bags. One dramatic traffic accident on a major highway sends reporters scurrying, while the stories of four hundred thousand other vehicles that made it home safely go unnoticed. Newscasters replay over and over again a fatal plane crash captured on videotape but rarely depict the tenderness of a mother nurturing her newborn infant.

Simple acts of love, safe arrivals, peaceful exchanges between neighboring countries and people helping each other, are noteworthy events. The media bias toward sensationalism and violence presents a selective, distorted and, in the final analysis, inaccurate portrait of the state of affairs on this planet. No balance here. We feed our minds such bleak imagery, then feel lost, depressed and impotent without ever acknowledging fully the devastating impact these presentations have on our world view and our state of mind.

Why not inspire ourselves rather than scare ourselves? We choose our focuses of attention from the vast menu of life's experiences. Wanting to be happy and more loving on a sustained basis directs us to seek peaceful roads less traveled. Though we might not determine all the events around us, we are omnipotent in determining our reaction to them. Some of us will live on the earth's crust searching for horror; others will lift the stones and see beauty beneath. Our embrace of life will be determined not by what is "out there," but by how we ingest what is "out there." Our view becomes almighty.

What we have been taught about ourselves and the universe around us conspires to have us believe that living requires awesome energy and great struggle. "No pain, no gain," we are told. "Life is a constant struggle." "You have to take the bad with the good." "You never really get what you want." "You're unlovable." "Something is wrong with you " (although it's never quite identified, you know it's there). "There is no justice." "No one cares." "Look over your shoulder and beware!"

These become communal mantras, shared with others and elevated to the status of treasured folklore. They color our vision and send us searching for the experience (rejection, attack, indifference) that we anticipate. Usually we find it! Our vision blossoms into a self-fulfilling prophesy, which each new experience tends to verify and reinforce. I never met a man who lived forever. I also never met a man who believed he could live forever. We become our beliefs. We get stuck in our heads.

Suppose we set aside the rigid concepts we might have learned about how the universe works. If we can now begin to entertain the possibility of many world pictures, then we might want to experiment by putting aside a logical, linear view of existence with fixed points and "hard facts" and consider a metaphor which reveals the ever-changing nature of the known universe.
We swim in a river of life. We can never put our foot into the river in the same place twice. In every second, in every millisecond, the water beneath us changes. Likewise, in every second, in every millisecond, the foot that we place into the river fills with new blood. Instead of celebrating the motion, we try to hold on to the roots and stumps at the bottom of the river, as if letting go and flowing with it would be dangerous. In effect, we try to freeze-frame life in still photographs. But the river is not fixed like the photograph and neither are we.


Ninety-eight percent of the atoms of our bodies are replaced in the course of a year. Our skeleton, which appears so fundamentally stable and solid, undergoes an almost complete transition every three months. Our skin regenerates within four weeks, our stomach lining within four days and the portion of our stomach lining which interfaces with food reconstructs itself every four or five minutes. Thousands, even millions, of neurons in our brain can fire in a second; each firing creates original and distinct chemistry as well as the possibility for new and different configurations of interconnecting signals. As billions of cells in our bodies keep changing, billions of stars and galaxies keep shifting in an ever-expanding space. Even the mountains and rocks under our feet shift in a never-ending dance through time. Life celebrates itself through motion and change.

Although we can certainly see continuity - seasons come and go, trees grow taller and people get older - we can acknowledge that each unfolding moment, nevertheless, presents a world different from that of the last moment. We could say that we and the world are born anew in every second and our description would be accurate scientifically. Therein lies an amazing opportunity for change. We can stop acting as if our opinions and perspectives have been carved in granite and begin to become more fluid, more open and more changeable, even inconsistent. We are in the river. We are the river!

Every stroke we make, every thought or action we produce, helps create the experience of this moment and the next. And the beliefs we fabricate along the way shape our thoughts and actions. Sounds rather arbitrary, some might say. It is! Quite simply, we try to move toward what we believe will be good for us and away from what we believe will be bad for us - operating always within the context of our beliefs. Even our hierarchies of greater "goods" and greater "bads" consist only of more beliefs. We hold our beliefs sincerely and defend our positions with standards of ethics or "cold, hard facts." We treat much of what we know and believe as irrefutable. We talk in absolutes. Once our beliefs are in place, we use all kinds of evidence to support them, quite unaware that we have created the evidence for the sole purpose of supporting whatever position we favor. In essence, we have become very skilled at "making it up."

Our Beliefs Create Our World Picture, Which We Then Transmit to Others.

As individuals, each of us becomes a force within a shared field of ideas and visions. Two powerful aspects of our interactions can be discerned easily. First, we can acknowledge ourselves as receivers. We see, we hear, we smell, we taste, we touch and we consume and digest beliefs. Much like a television set, we receive a variety of signals. But now we can recognize our authority over the tuner or channel changer and ask ourselves what messages we want to invite into our homes and our minds. We are not talking about censorship or putting blinders on; we are speaking of exercising more consciously our right to determine the types of inspirations we want to bring into our lives.

In addition to receiving, we transmit our ideas and visions. As transmitters, we can be seen as similar to a television or broadcasting station. Our lives become beacons, communicating the attitudes we assume, the beliefs we create and the actions we take. We become more than role models; we seed the field of human experience with our perspectives and deeds.

A thirty-year-old mother, who had arranged private, individual sessions for herself and for her child at our learning center, asked in agony why her adolescent son would actually lift his hand to her and threaten bodily assault. When questioned gently and without judgments, the boy explained his action quite openly. Since his mother hit him and his sister to express her disapproval, he similarly used the threat of force to express his resistance to her.

Parents ask many questions about the perplexing behavior of their children. "Why does she complain all the time?" "Why does he shout angrily when he doesn't get his way?" "How come my child seems so ungrateful?" Although children learn from the media, friends and their own experiences, often the lessons learned at home have the most impact. We can use the behaviors of those around us to stimulate questions about our own transmissions. Do we complain? Do we shout? Do we fail to express gratitude? Our answers tell us not only what we teach those around us but also what we put into the human collective and reinforce for others as well as ourselves.

Our beliefs and attitudes not only bubble to the surface in our feelings and behaviors but also are apparently transmitted on subtle levels as well. Once, when working with a nonverbal special child, we introduced a volunteer into the room as an observer. The child withdrew almost immediately from participating with her regular teacher and scurried across the room, clearly putting distance between herself and this new arrival. When the volunteer left, the child rejoined her teacher and participated easily and joyfully once again. Later, when I questioned the young man about his experience as an observer, he admitted feeling exceedingly uncomfortable and judgmental of the little girl's wild head movements and hand flapping.

We have noticed over and over again that nonverbal children rely on their ability to pick up attitude "transmissions" even when the initiator camouflages his or her discomforts with smiles. They know. They have a capacity, akin to radar, to pick up non-visible signals. Words, even actions, do not distract them from getting a quick "fix" on a person's level of comfort. We all have that same capacity, but, unlike the special child, we have not maximized our skill. Many times, as verbal people, we focus on words alone. Yet on other occasions, we do "read" between the lines and take in data communicated less overtly.

The power of our beliefs and visions shape the character of our personal realities and impact on others around us. Recent scientific studies suggest that the "reach" of belief transmissions might go beyond anything we have ever imagined.
A contemporary biologist has noted a community of shared information among species, which he calls morphogenetic fields. Essentially, his unfolding theory suggests that species, even groups of species, share an invisible and intangible communications field which can be observed and tested.


Early experimental efforts to teach rats to move through mazes yielded some startling results. The first group of rats performed endless trial-and-error rituals before finding their way through the maze. They succeeded at the task only with great difficulty. The second group of rats appeared somewhat more proficient. Subsequent experiments with genetically unrelated groups of rats, who had never before seen such mazes moved through the mazes as if they had been pre-trained. Somehow training some members of the species impacted on the abilities of all the others.

In other research, a group of behaviorists took pigeons, believed to be quite uneducable, and tried a behavioral approach to teach them to peck on lighted panels in what became known as the Skinner box. Initially, it took a long teaching period to train the pigeons to just begin the pecking. Researchers find that pigeons now peck at lighted panels easily and quickly. Some people claim now that anyone could go to any city in the world, coax a pigeon into a Skinner box, and, in short order, perhaps only minutes, teach the creature to peck on lighted panels - a humorous suggestion about an outrageous yet testable reality. Teach one or more of a species and all the members begin to learn the lesson.

The implications escalate when we ask if our transmissions are confined to species within the animal kingdom. In 1966, one of the foremost experts on polygraph machines (lie detectors) tried a unique experiment. One morning, in his office, rather than hooking his lie detector to a person, he attached the electrodes to the palmlike leaves of a plant. His initial printout from the plant matched similar ones he had recorded when testing people at rest. He knew an individual under stress, frightened or agitated, would cause changes in the meter readings of the polygraph. Could he produce a similar response from plants?

He proceeded to water the plant to see if there was a measurable impact on the polygraph. There was no significant difference. Perhaps the analogy he hoped to demonstrate had no basis, he thought. However, he decided to escalate the experiment and precipitate stress by introducing a hot cup of coffee and dipping the leaves of the plant into the scalding liquid. Again, the reading did not register any significant change. He fantasized about what act he could perform to trigger a response in the plant if that was, indeed, possible. He considered finding matches and actually burning the leaves. As he rose from the chair to execute his idea, he noticed the readout on the polygraph moving frenetically. In subsequent experiments, he demonstrated repeatedly that his violent visualizations affected the foliage and plant life around him.

We could conclude from these studies that all living things communicate with each other through intelligence or morphogenetic fields. The implications are staggering. What each of us learns has the potential of becoming a message to all humankind and, perhaps, to all other life forms as well. Each life has profound significance.

A new question now arises. If we want to be happy and support a universe that nurtures such an endeavor, what data would we want to feed into the human collective? What would we want to engender and reinforce? What gifts of awareness, what deeds, would we want to give our children, our friends, our lovers, our parents, our community, humankind, the animals, the plants, even the rocks?

Whatever we put into the river will mix in the current and bounce back to us. If just one of us changes our beliefs and teaches happiness and love, then that attitude or information goes into the connective tissue of the community and enhances the aptitude for happiness of the entire human group.

People spend years, even lifetimes, rummaging through old memories and philosophies accumulated throughout the centuries in the pursuit of happiness or the promised land (where people are happy, loving and peaceful). The answer lies not behind us. We have to look forward toward a new vision that we can create - not merely in our lifetime, but right now!

BADAN PENASIHATAN

PEMBINAAN DAN PELESTARIAN

PERKAWINAN (BP-4)